Perkembangan
peradaban telah memudahkan seluruh aktifitas manusia, bahkan mereka
dapat melakukan berbagai aktifitas yang dulu sangat mustahil secara
bersamaan tanpa harus berpindah tempat. Dengan teknologi batasan ruang,
waktu, dan sumber daya tidak lagi menjadi masalah penting. Fungsi
manusia lambat laun mulai digantikan dengan fungsi mesin.
Manusia
cenderung menginginkan segala sesuatunya dilakukan secara cepat, serba
instan. Kebiasaan instan ini secara perlahan-lahan menjadi sebuah budaya
yang saat ini sudah demikian kuat tertanam dan tumbuh pada generasi
kita.
Menginginkan
segala sesuatu serba cepat dan praktis, tanpa perlu bersusah payah,
menjadi ciri kuat generasi sekarang. Padahal, kematangan kerja hanya
bisa didapat melalui proses. Timbul kemudian masalah yakni :
1. Apa sebenarnya generasi instan itu.2. Apa dampak buruknya.
3. Bagaimana cara meyakinkan seseorang itu bahwa keberhasilan itu bukan hal yang mudah.
Pertanyaan
pertama akan saya bahas. Apa sebenarnya generasi instan itu. Istilah
generasi instan ini muncul untuk memberi nama gejala yang berkembang di
masyarakat perkotaan yang menginginkan segala sesuatu secara cepat dan
praktis, tanpa mau bersusah payah. Mau minum kopi atau makan mi, tidak
mau repot-repot menghidupkan kompor, memasak air, dan seterusnya.
Software komputer, kamera, ponsel, dan segala macam peralatan teknologi
tinggi lainnya telah dibuat sedemikian user friendly. Mengerjakan tugas
tinggal ketik kata kunci di “Om Google”, setelah dapat sumber, buka
sumber ujung-ujungnya copy dan paste.
Dalam
hal ini generasi instan merupakan generasi yang selalu menginginkan
sesuatu secara cepat, namun tidak tepat, cermat, dan menghargai proses.
Generasi instan melakukan sesuatu tanpa perhitungan yang matang.
Generasi instan sama sekali tidak melihat dari efektifitas dan
efesiensi,karena yang dilihat hanya hasilnya.
Nah, pertanyaan kedua mengenai dampak buruk dari perilaku tersebut yakni : 1.Siswa atau pelajar hanyaakan mengukur keberhasilan dari hasilnya, bukan dari prosesnya
2.Tidak ingin mempelajari sesuatu secara menyeluruh dan sering menggeneralisasikan sesuatu.
3.Membenci tahapan-tahapan dalam melakukan sesuatu.
4.Sangat antusias dengan instilah-istilah CARA CEPAT, CARA KILAT,KONSEP PRAKTIS dan tidak pernah memikirkan bagaimana bisa cepat, kilat, dan praktis.
5.Malas mempelajari core ilmu dan hanya senang menggunakan hasil kerja/temuan orang lain
Generasi Manja
Budaya
instan yang intinya memanjakan manusia inilah yang barangkali ikut
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya generasi manja. Generasi manja
inilah yang saat sekarang ini mulai meninggalkan bangku sekolah dan
memasuki dunia kerja.
Mereka
tidak terbiasa bekerja keras. Mereka tidak dibiasakan untuk memahami
suatu proses. Selain itu, aspirasi dan harapan seseorang memang sangat
mungkin dipengaruhi oleh orang-orang lain di lingkungannya. Baik itu
dalam lingkungan nyata, maupun lingkungan fiktif seperti yang ada dalam
film, buku, atau majalah. Sayangnya film dan cerita-cerita yang beredar
di masyarakat justru menyajikan tokoh-tokoh yang mencapai keberhasilan
secara ekstra cepat, senada dengan proses instan. Sedikit sekali film
yang menunjukkan seorang pegawai yang harus bekerja sangat keras untuk
menapaki jalur karirnya.
Kebanyakan film menunjukkan orang
yang baru masuk kerja langsung sudah punya kursi direktur, ruang kerja
pribadi punya mobil lengkap dengan sopir. Banyaknya contoh dari berbagai
macam jenis profesi dan tokoh berhasil dalam profesi itu, telah
memancing hasrat kaum muda khususnya bagi kaum intelektual untuk bisa
menjadi seperti mereka. Apalagi seiring dengan keberhasilan mereka telah
ditunjukkan pula semua atribut sampingan yang membuat orang kagum atau
tergiur.Tidak Mudah
Sekarang
tentang pertanyaan ketiga, bagaimana menyakinkan mereka bahwa
keberhasilan itu bukan hal yang mudah. Sebetulnya jawabannya sudah ada
dalam pertanyaan itu sendiri. Keberhasilan bukanlah hal yang mudah.
Walaupun
tidak mudah, hal itu juga bukan mustahil, terutama bagi kita yang bukan
produk budaya instan. Kita sendiri baru berhasil menduduki posisi
seperti sekarang setelah melalui perjalanan yang panjang. Langkah
pertama yang bisa kita lakukan adalah mengajak mereka mengenali proses
yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah produk, apa pun produk itu.
Bahkan kehadiran kopi atau mi instan adalah hasil dari sebuah proses
yang panjang.
Mula-mula
ada gagasan untuk memproduksi mi instan. Sesudah itu ada proses
menyakinkan berbagai pihak untuk ikut mendukung gagasan itu. Lalu ada
serangkaian penelitian untuk menghasilkan produknya. Setelah itu masih
ada proses pemasaran, distribusi, dan lain sebagainya.
Kita
harus mampu menunjukkan kepada mereka bahwa semua keluaran yang
dihasilkan di universitas pun harus melalui serangkaian proses. Misalnya
lahirnya seorang sarjana strata satu harus menempuh pendidikan minimal 4
tahun atau 8 semester. Mulanya harus ada perencanaan kuliah, ada jadwal
kuliah, dan ada pula proses perkuliahan yang sangat perlu kita ikuti
untuk menempuh gelar sarjana itu. Setelah menyadari bahwa segalanya
perlu proses, mereka akan lebih mudah menyakini bahwa untuk mencapai
posisi tertentu pun harus melalui sejumlah proses.
Meskipun
begitu, tidak semua orang perlu waktu sama panjang karena ada saja
orang-orang yang mempunyai bakat lebih dari orang kebanyakan.
Keberhasilan dalam menyakinkan mereka akan menjadi lebih mudah kalau
Anda berhasil menunjukkan bahwa banyak hal yang tidak atau belum mereka
kuasai dan harus dipelajari.Masih banyak ciri-ciri lain dari generasi
instan yang belum disampaikan. Intinya generasi instan adalah generasi
yang konsumtif, menginginkan segala sesatunya secara cepat tanpa
perhitungan dan tidak menghargai proses.
By : Ichal
Sumber Kajian :
Hartoto. Generasi Instan Tidak Menghargai Proses.
http://fatamorghana.wordpress.com/2009/09/24/generasi-instan-tidak-menghargai-proses/
Dewi Matindas. Budaya Instan Generasi Manja.
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/06/15401763/Budaya.Instan.Generasi.Manja.