
Berbagai
literatur yang ada menyebutkan, eksitensi Kerajaan ini turut memberi
warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi
Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang
tercatak dalam kitab "La Galigo" yang amat melegenda. Sementara masa La
Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis,
berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng
merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di
abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau
besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan
terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang
Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai "...Sebuah
kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari,
dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman." (Tiele 1880, IV;413).
Manuel
Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap
selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun
1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai
dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi
penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan
kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan
bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten
Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia
juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi
pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan
muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, "Sebuah
fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan
dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng."
(Wicki, Documents Indica, II: 420-2).
Hal
ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441)
yang menulis, "pada kampung-kakmpung di tepi (danau)... berlangsung
perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu
sungai Cenrana...Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk
dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun."
Sejarawan
lainnya mencatat, "Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu
dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah
alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur
semenanjung Sulawesi Selatan." (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka,
Sejarah Sulawesi di Abad XVII).
Dalam
literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai
daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng,
Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan
Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu.
Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga
raja-raja mereka.